Hanya sebuah rumah yang memiliki berjuta cerita, kisah yang abadi walaupun penghuninya tiada. Setiap sudut dan garis setiap rumah memiliki kisahnya sendiri. Bagaimana sebuah perjuangan bermula, kebahagiaan berawal, dan kedukaan berada. Semua bermula di dalam Rumah.
***
Harus kukatakan bahwa hati ini tidak terima dengan perlakuan keluargaku yang bisa-bisa selama tiga hari itu tidak mengabarkan keadaan Abah kepadaku. Apakah begitu tidak pentingnya aku? Atau entahlah, kalimat dan kata-kata itu selalu terlintas di kepalaku, tidak berhenti berpusing ria menari di atas kepalaku. (Kehilangan)
“Sudah, sih, Dek, nggak usah ngikutin Mbak terus. Main saja sana sama teman-teman kamu,” ujar Mbak Trisna dengan nada yang cukup kesal usai mengetahui bahwa Riani, adiknya, membuntutinya dari belakang saat bersama teman-temannya.
“Mau ikut Mbak,” kata Riani sambil memelas. (Catatan si Bungsu)
“Banyak yang tidak suka dengan keluarga kita. Memang di depan Ayah semua baik, tapi belum tentu semuanya tulus. Sampai kapan Ayah sadar juga. Ingat, anak-anak sudah besar, Tina sudah mau wisuda, adik sudah mau ujian. Jangan buat mereka tergang—”
“Jangan ikut campur urusan Ayah. Sekali lagi bicara seperti itu, Ayah tidak akan pernah pulang.” (Sumber kedamaian hidup)
Mungkin seperti mimpi saja, seketika San San mendapat Messenger dari teman kuliahnya nun jauh di sana. Don Ming menanyakan kabar San San di Indonesia. Posisi Don Ming sedang menetap di Korea Selatan, tepatnya Kota Geyonsyang. (Video Call-in Aja)
“Pulanglah, apa yang menahanmu? Pergi saja!” Dengan santai Bayu berkata demikian, sambil menepuk sandaran kursiku. Aku hanya menarik napas yang sebenarnya tidak berat, hanya ingin membuang kepenatan yang tetap tak kunjung hilang. (Kinan dan Cerita dari Masa Lalu)
Ibu memegang erat telapak tangan anak sulung dari pernikahan keduanya, Ratri. Tentulah Ratri teramat sedih pun hatinya juga menjadi tidak karuan. Pikiran buruk pun mulai menghantuinya. (Pulang)